SELAMAT DATANG (WELCOM IN MY BLOG)

Sabtu, 04 Mei 2013

Membangun Kedaulatan Petani Menuju Ketahanan Ekonomi Bangsa Indonesia Yang Mandiri

    Ketegasan pemerintah China, agaknya berbeda dengan ketegasan yang dinyatakan pemerintah Indonesia. Sebab dalam berbagai kasus penindakan yang sudah disesumbarkan hendak ditindak secara tegas, ujung-ujungnya melintir, atau bahkan justru lenyap tidak jelas juntrungan penyelesaiannya. Simak saja sejumlah pernyataan pejabat yang berwenang melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi di Indonesia, penyelesaiannya malah terkesan sangat alot dan cenderung semakin kusut.
    Ilustrasi diatas sekedar untuk meyakinkan bahwa keinginan kita membangun petani Indonesia yang
tangguh sehingga dapat menjadi garda terdepan sebagai brigade ketahanan ekonomi, politik dan
social budaya di republic ini, baru sebatas wacana yang perlu disosialisasikan sehingga dapat menjadi
pemahaman dan kesepakatan bersama untuk kemudian didorong percepatan perwujudannya, agar
tidak sekedar menjadi slogan belaka. Upaya membangun kehidupan pertanian rakyat, sama halnya
dengan keperluan yang mendesak membangun nelayan dan buruh serta kaum pedagang yang
bermental agraris dan maritime yang berjiwa revolusi, sehingga upaya membalikkan arah sejarah
perkembangannya yang tergelincir dari dari tujuan semula, dapat segera dikembalikan.
     Bayangkan tekad pemerintah China untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dengan tetap
menciptakan kualitas udara yang bersih, air minum dan makanan yang aman1. Setidaknya, bisa
dibayangkan dengan penduduk yang berjumlah sekitar empat milyar orang itu, pemerintah China tetap
lebih maju selangkah, tidak lagi berbicara menganai ketahanan pangan, tetapi sudah mulai memasuki
tahap keamanan pangan. Untuk menghadapi masalah keamanan – bukan lagi ketahanan seperti yang
masih kita khayalkan — diperlukan ketegasan, resolusi yang tepat, jelas dan terukur. Waktunya segara
akn ditentukan, karena disadari sudah sangat mendesak. Hal serupa juga akan dilakukan pemerintah
China untuk menangani polusi air dan tanah yang telah tercemar limbah industry.

Lalu bagaimana dengan Indonesia ?

1.MedanBisnis – Minggu, 17 Mar 2013 :

    China Komitmen Tangani Polusi Dan Keamanan Makanan
    Tampaknya, kita masih perlu mengukur kesabaran sampai waktu dan kondisinya telah memprihatinkan.
Padahal, untuk keluhan dan kekhawatiran penduduk Jakarta saja tentang air bersih – apalagi air yang
sehat, bebas polusi – pada kenyataannya harus dinikmati dengan rasa aman dan nyaman. Padahal,
kondisi air tanah di Jakarta serta sejumlah kota besar di Indonesia lainnya seperti Surabaya, Semarang
dan Medan Sumatra Utara – sudah amat sangat memprihatinkan. Ikhwal keamanan makanan, seperti
yang didedahkan Perdana Menteri Li Keqiang, karena masalah keamanan pangamanan dan kesehatan
pangan akan sangat menentukan kualitas hidup masyarakat.
    Apa yang diungkapkan sejumlah pakar ikhwal pertanian rakyat di Indonesia, sejak fenomena yang
terjadi sejak dua puluh tahun silam ( 1970-1980-an) memang sudah mengalami pemiuhan. Rancangan
pembangunan yang kemudian dilakukan oleh pemerintah, khususnya di subsector perkebunan belum
begitu banyak berarti dalam rangka meningkatkan kemakmuran kehidupan petani, sebab persoalan
pembangunan, khususnya dalam perkebunan karet-rakyat, tidak cukup hanya sekedar meningkatkan
produksi semata. Artinya strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah selama ini yang mengacu
hanya kepada landasan asumsi-asumsi ekonomi neo-klasik, perlu ditinjau kembali, sebab dalam
paradigma itu manusia hanya dipandang dari satu sisi, yaitu sebagai makhluk rasional yang hanya
terangsang oleh insentif material. Hal ini terbukti dalam realitas kehidupan sosial/ekonomi petani
selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Karenanya untuk mengurai berbagai
persoalan yang dihadapi dalam pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini
sudah seharusnya mempertimbangkan potensi sumberdaya local dan kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya.
    Kajian kritis tentang sejauh mana usaha pembangunan perkebunan karet-rakyat yang telah dilakukan
pemerintah selama ini mampu meningkatkan kesejahteraan petani; kedua, apakah pembangunan
perkebunan juga telah mampu menciptakan perubahan (sosial, kultural) yang lebih baik untuk
masyarakat sekitar. Sungguh menarik menjadi acuan agar dapat diajdikan acuan untuk keiinginan
membangun dalam bidang lain, seperti untuk masyarakat nelayan, kecenderungan yang mendorong
masyarakat pedesaan meninggalkan sejumlah potensi yang ada dengan masuk ke perkotaan
dengan ‘lega lila’ pasrah menjadi buruh di kawasan industri yang pengab beragam jenis polusi, termasuk
penurunan kualitas budaya – kalau tidak bisa dikatakan menjadi rusak – karena pola kehidupan di
perkotaan yang bersifat liar dan ganas.
     Kajian tahap berikutnya yang pernah dilakukan sejumlah pakar, adalah mempertnayakan sejumlah
usaha pembangunan pertanian yang pernah dilakukan pemerintah mengenai memanfaatnya serta
dampaknya terhadap potensi sosial dan budaya masyarakat lokal yang menciptakan suatu perubahan,
misalnya tradisi-tradisi, lembaga-lembaga norma, dan adat masyarakat. Selanjutnya bagaimana dengan
peranan pembangunan yang dilakukan turut memberdayakan lembaga lokal atau kelompok sosial yang
menunjang pembangunan perkebunan.
    Kajian serius dan mendalam untuk mengharapkan kaum tani dan nelayan Indonesia agar dapat
menjadi ‘soko guru’ ekonomi nasional yang handal, nyatanya masih haris menempuh jalan berliku
yang panjang. Pamapan Dr. Agus Pakpahan menegnai nasib petani Indonesia di zaman Belanda, era
Bung Karno dan era reformasi menunjukkan kecenderungan yang paradoksal, jelas menggambarkan
ironi yang memilukan. Mengenai kepemilikan atau penguasaan lahan, walau sudah diatur oleh UU No.
5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Ketentuan Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan UU
Pokok Agraria, realitasnya persengketaan yang berujung pada perseteruan mengenai lahan lebih dari
cukup menilbulkan banyak korban, mulai dari harta sampai nyawa. Disamping itu, ketimpangan akan
kepemilikan lahan, erat kaitannya dengan keamanan pruduktivitas pertanian.
Ironisnya, kepemilikan atau penguasaan lahan oleh pihak asing sudah menajdi kontraversi sejak lama.
Letupan-letupan kecemburuan akibat penguasaan lahan ini sudah bermunculan di berbagai tepat dan
daerah. Namun solusi umum yang dapat dijadikan acuan untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa
yang cukup mengerikan, karena tidak sedikit diantaranya yang memilukan karena banyak jatuh korban,
tidak juga ada hasilnya yang dapat ditawarkan pemerintah. Akibat dari penguasaan lahan yang maha
luas oleh kalangan feodal umumnya, sudah membuktikan usaha industri yang diharapkan bertumbuh
atau berkembang menjadi tersendat. Sebaliknya, penguasaan lahan yang dimiliki oleh kalangan
industriawan, maka kecenderungan yang terjadi kerusakan lingkungan sebagaimana yang dilakukan oleh
sejumlah pengusaha tambang di Indonesia.Celakanya, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi maupun eksplorasi oleh perusahaan pertambangan,bukan saja merusak lingkungan sekitarnya, tetapi juga dominan dibarengi oleh pencemaran kawasan sekitarnya. Dampak bawaan dari perusahaan tambang umunya, industry yang berbasis pertanian disekitarnya cenderung tidak dapat dilakukan. Jika pun ada, produksi yang dihasilkan dari usaha pertanian di sekitar kawasan tambang itu tidak layak untuk dikonsumsi, atau bahkan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Namun untuk memperoleh kepastian dari sejumlah hasil pertanian yang disekitar kawasan tambang, patut ditelisik lebih jauh tingkat
toleransi untuk mengkonsumsinya, tanpa harus menanggung ancaman bagi kesehatan dari akibat yang
ditimbulkannya.
     Pada persilangan masalah petani dengan kepemilikan lahan serupa ini – yang masih acap menimbulkan
sengketa maupu perseteruan hingga ‘puputan’ – keinginginan untuk memposisikan petani sebagai
salah satu ‘soko guru’ ekonomi bangsa saja, tampaknya masih diperlukan beberapa tahap dan langkah-
langkah besar yang nyata, bukan retorika, apalagi sekedar igauan saja sebagai pemanis bibir untuk
mensiasati 2014 tatkala Pemilu dilaksanakan. Paling tidak, untuk mengangkat pertanian rakyat sebagai
basis pertahanan ekonomi menuju kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya, tidak bisa ditumpangi oleh
kepentingan politik, lantaran pertahanan ekonomi dan kedaulatan ekonomi itu sendiri sudah memikul
beban politik utnuk memposisikan segenap warga bangsa Indonesia bermartabat dalam pergaulan
bangsa-bangsa di dunia. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar